Skip to content

Heran tapi Senang: Catatan dari Akamsi seputar BWF

Oleh: Christiaan

Pada Oktober 2023 lalu, saya diundang ke Balige Writers Festival (BWF). Festival sastra yang diselenggarakan di Balige. Sebuah kota kecil—ibu kota Kabupaten Toba, di pinggiran Danau Toba. Saya jadi salah satu dari lima belas emerging writers yang dipilih, dan kemudian diundang hadir.

Lima belas penulis muda-pemula itu adalah hasil seleksi dari sekian penulis yang mengirimkan karyanya untuk diseleksi oleh dewan kurator. Diisi oleh Saut Situmorang, Nestor Rico Tambun, Eka Dalanta, dan Tansiswo Siagian.

Saya mengirimkan buku kumpulan puisi saya yang terbit pada 2022 oleh Literacy Coffee (Institut Sumatera). Judulnya Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiri. Begitulah. Saya lalu terpilih, dan turut menyemarakkan perayaan ini.

Sebelum BWF

Saya heran ketika kali pertama mendengar kabar bahwa di Balige ada festival sastra. Saya coba mengingat-ingat masa-masa sekolah dulu. Hasilnya, saya tak ingat kalau di Balige ada iklim sastra yang baik. Setidaknya cukup baik sebagai embrio bagi lahirnya festival sastra di kemudian hari.

Saya bukan pembaca ulung ketika duduk di sekolah dasar hingga menengah di Balige. Juga tidak menulis. Apalagi membicarakan karya dengan teman-teman saya. Dengan guru Bahasa Indonesia pun tidak. Nama-nama seperti Chairil Anwar, Asrul Sani, Sanusi Pane, memang cukup membekas sebagai bahan ajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi pengenalan terhadap mereka pun terbatas hanya pada satu-dua puisi yang dicantumkan dalam buku ajar. Tak lebih, tak kurang.

Di luar sekolah, jarang terdengar kalau di sanggar sana sedang berlangsung lomba baca puisi. Atau di sanggar sini sedang berlangsung bedah buku. Atau komunitas ini sedang mengadakan kelas menulis. Atau komunitas itu sedang mengadakan bazar buku. Dan seterusnya. Tak pernah, tak pernah saya mendengarnya selama saya sekolah.

Saya hanya ingat bazar buku sewaktu duduk di sekolah dasar. Tiga buku primadona di bazar itu, seingat saya: RPAL, RPUL, dan kumpulan chord lagu-lagu pop melayu yang sedang hits. Buku-buku Chairil Anwar dan kawan-kawannya yang disebut di mata pelajaran Bahasa Indonesia itu, misalnya, tak ada dalam bazar buku yang saya maksud.

Berangkat dari pengalaman itu, sulit bagi saya untuk bersikap biasa-biasa saja kala mendengar di kampung saya itu ada yang namanya festival sastra. Setidaknya, ada dua terkaan saya saat itu. Pertama, selama menghabiskan masa-masa remaja awal di Balige, sayalah yang barangkali tidak pernah memberi perhatian pada bacaan dan hal-hal di sekitarnya. Kedua, telah terjadi lompatan-lompatan ajaib pasca saya meninggalkan Balige untuk lanjut sekolah di Kota Medan.

Jujur, saya lebih meyakini terkaan kedua. Untuk itu saya lalu bertanya pada beberapa orang kawan di Balige. Siapa inisiator festival itu? Apakah di Balige telah tumbuh toko-toko buku tempat menyemai inisiatif seperti itu? Apakah coffee shop yang bermekaran di Balige itu sudah jadi tempat orang membincang buku-buku? Membicarakan penulis dan karya-karyanya? Atau jangan-jangan, di Balige sudah ada penerbit? Dan pertanyaan-pertanyaan sejenis.

“Setau aku, nggak ada.” jawaban dari nyaris semua kawan yang saya tanyai.

Terkaan saya benar belaka. Telah terjadi lompatan ajaib. Alih-alih muncul sebagai konsekuensi dari budaya literasi yang mengakar, inisiatif datang dari luar, plus ide abang-abangan apresiator seni. Kalau saya coba urai kembali perasaan saya waktu itu, setidaknya ada dua macam perasaan yang terbit: heran dan senang. Bisa pula pakai konjungsi lain: heran tapi senang. Karena rasa senang itulah saya kemudian mengikuti seleksi sebagai emerging writer.

Saya mengirimkan buku kumpulan puisi saya. Selang beberapa waktu, lima belas nama penulis terpilih diumumkan, beserta “asal” masing-masing penulis. Tercantum, saya berasal dari Medan. Atas hal ini saya tersenyum simpul. Seleksi itu untuk penulis atau penerbit? Asal penerbit dapatlah diketahui dari belakang halaman judul sebuah buku. Tapi dari mana panitia bisa tahu asal penulisnya? Saya bertanya heran dalam hati, tapi tetap saja, saya masih senang.

Saya lalu berangkat ke Balige. Pulang, lebih tepatnya. Tak ada yang sedemikian istimewa. Hanya pulang kampung, sebagaimana saya lakukan pada hari-hari libur. Pembukaan tak resmi kegiatan dilakukan dengan kumpul-kumpul di sebuah kafe di bilangan Lumban Silintong, salah satu titik rekreasi tepian Danau Toba legendaris di Balige. Setelahnya, semua berjalan sesuai dan tak sesuai susunan acara. Diskusi, pertunjukan musik, pembacaan karya oleh para emerging writer, sambutan curi panggung dari bupati, lomba menulis puisi yang kontroversial, dan seterusnya. Intinya, lagi-lagi, saya terheran-heran, tapi masih senang.

Barulah pada hari terakhir rangkaian kegiatan, kesenangan saya mulai terusik. Pasalnya, desas-desus berembus, uang saku kelima belas penulis muda-pemula yang diundang tidak cair, dan tidak akan cair. Kampret betul! Padahal, di malam sebelumnya, saya sengaja mentraktir diri saya sendiri sepasang celana (bukan celana Joko Pinorbo tentu), semata-mata karena saya berpikir bahwa besoknya saya bakal dapat duit dari BWF.

Semua berlangsung sangat cepat. Di hari terakhir itu, di hari Minggu yang mendung dan sendu itu, di penghujung bulan Oktober yang dirayakan orang-orang berzodiak scorpio itu, Panitia BWF menyampaikan segala macam cerita sedih. Tentang proposal pendanaan kegiatan yang tadinya sudah lampu hijau tapi tiba-tiba ditolak. Tentang kantong individu-individu yang robek untuk menyokong kegiatan. Tentang semangat membangun budaya literasi. Dan seterusnya. Semuanya jelas untuk satu tujuan, yaitu meminta maaf tanpa mengucap maaf. Dalam perkataan lain, minta dimaklumi. Saya heran, dan kali ini, mulai tidak senang.

Para emerging writer yang hadir saat itu pun seperti tak tahu hendak mengatakan apa. Sebab ruang itu memang tak ada yang menyangka bakal dijadikan ruang untuk adu nasib dan cerita sedih. Maka pulanglah mereka dengan pemakluman yang dibuat-buat. Adapun saya kembali ke Medan. Untung, ongkos pulang-pergi masih bisa ditalangi oleh panitia.

Setelah BWF

Sekembalinya dari BWF 2023, rasa heran saya nyaris tak bersisa. Keheranan itu terkonfirmasi dengan serangkaian ketidakpuasan yang saya bawa pulang. Perihal rasa senang, biar bagaimanapun, masih melekat di hati saya. Festival ini adalah angin segar bagi ekosistem sastra di Balige dan sekitarnya. Pula saya sebagai penulis sudah mendapat publisitas yang lumayan dari kegiatan tersebut. Kendati kritik pada akhirnya memang harus diutarakan.

Sebenarnya, dilema melingkungi saya setiap kali kritik terhadap BWF terlintas di kepala saya. Saya tak sepenuhnya merasa outsider alias orang luar. Sebagaimana saya singgung sebelumnya, saya menghabiskan masa-masa remaja di Balige. Dengan fakta demikian, saya tak kuasa tak bertanya pada diri sendiri: apa yang saya sudah lakukan untuk membangun ekosistem sastra di Balige dan sekitarnya. Tapi saya pikir beginilah cara mainnya yang ideal: tuduhan bahwa Anda belum mengerjakan sesuatu berkaitan dengan substansi yang Anda kritik, tidak serta-merta membuat kritik Anda tidak valid. Atau, Anda tidak harus mengumbar terlebih dulu apa-apa yang Anda telah kerjakan, baru Anda berhak melayangkan kritik. Oke lanjut.

Banyak hal yang nyata-nyata mesti diperbaiki oleh kawan-kawan Panitia BWF. Persoalannya saya sudah sampaikan di atas. Tentu cara menyelesaikannya panitia yang rumuskan. Satu hal yang pasti, festival ini akan hidup sebenar-benarnya hidup jika digerakkan oleh semangat kolektif yang tumbuh dari bawah. Jikalau semangat itu hanya semangat segelintir orang yang ditancapkan dari atas, memang tidak ada salahnya. Tapi bagi saya, tidak ada yang namanya festival sastra di Balige kalau begitu. Ia hanya sekadar venue untuk berkumpulnya orang-orang yang kebetulan gemar membaca. Dan membebankan embel-embel ‘festival sastra’ pada kegiatan semacam itu adalah lelucon yang tak lucu.

Penutup

Ada sebuah ungkapan yang sering saya pikirkan sepulang dari BWF 2023 kemarin. Tak perlu hebat untuk memulai sesuatu, tapi mulailah sesuatu untuk menjadi hebat. Demikian bunyi ungkapan tersebut. Manifestasi dari ungkapan inilah BWF itu saya kira. Ia berani mengambil lompatan, memulai sebuah festival sastra di tempat di mana daya topang komplementer untuk kegiatan semacam itu belum mumpuni. Keberanian untuk memulai itu saya apresiasi. Gelaran festival pada masa mendatang harusnya tinggal melanjutkan, menjadikannya lebih ciamik, bukan lagi memulai dari awal.

Demikianlah, hampir setahun pasca BWF 2023, saya akhirnya menuliskan catatan ini sebagai upaya untuk—meminjam istilah Sujiwo Tejo, menegaskan utang rasa saya. Rasa senang sebagai akamsi alias anak kampung sini, karena di Balige sudah ada festival sastra.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *