Skip to content

Polemik Badan Otorita Food Estate di Sumatera Utara

Oleh: Christian Rahmat

Artikel ini telah terbit di situs Harian Medan Bisnis pada tanggal 10 Juni 2024 dengan judul “Badan Otorita Food Estate di Sumatra Utara: Untuk Petani atau Elite?”

Rencana pemerintah membentuk Badan Otorita Pengelola Kawasan Food Estate (BOFE) di Sumatera Utara picu polemik. Segera setelah Rancangan Peraturan Presiden tentang BOFE di Sumatera Utara (Ranperpres BOFE) bisa diakses publik, ragam pertanyaan bermunculan. Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU) turut mempertanyakan rencana tersebut. Menurut mereka, kehadiran BOFE akan mereduksi kewenangan pemerintah daerah dalam hal perumusan kebijakan pertanian.

Program lumbung pangan ini memang sudah menuai kritik jauh-jauh hari. Ia dianggap tidak memihak pada petani kecil, alih-alih menjadi pemasok bagi industri pangan yang hanya akan menumpuk untung para pemodal besar. Keterlibatan para elit dari lingkaran rezim yang sedang berkuasa juga membuat publik tak begitu menaruh harap pada program ini.

Kini, setelah berjalan lebih kurang 4 tahun, kritik itu seperti terhembus angin begitu saja. Bukannya merencanakan evaluasi menyeluruh, pemerintah malah hendak membentuk lembaga baru untuk mengurusi program kontroversial itu.

Keinginan pemerintah untuk menciptakan kedaulatan pangan memang sudah ada sejak dulu. Mulai dari era Presiden Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga era Jokowi hari ini. Kebijakan di tiap-tiap era itu pun tak luput dari kritik. Ia dinilai menyebabkan deforestasi alih-alih menciptakan kedaulatan pangan.

Polemik yang terus mengikuti “niat baik” ini membuat publik bertanya-tanya. Apakah pemerintah sungguh-sungguh punya peta jalan untuk mewujudkan kedaulatan pangan? Atau, niat baik itu ternyata baik hanya untuk segelintir. Bukan untuk mensejahterakan petani serta memastikan rakyat tak kekurangan makanan.

Kue kekuasaan

Bagi-bagi “kue kekuasaan” adalah rahasia umum buat publik. Anak kecil di kecamatan terluar di negara inipun, misalnya, tahu bahwa kepala dinas pendidikan di daerahnya bakal bertukar seiring dengan bergantinya bupati.

Di level nasional, hal serupa tentu terjadi. Contohnya, pasca pemilu presiden-wakil presiden kemarin, para loyalis pemenang pemilu pasti sudah sibuk mengamankan potongan kue untuk kelompok mereka. Mulai dari rasa, hingga besar potongan kuenya.

Rencana pembentukan BOFE di Sumatera Utara pun sarat gelagat bagi-bagi kue kekuasaan. Tentu saya tidak mau dikata-katai negative thinking, apalagi sampai dicap anti pembangunan karena argumentasi yang saya sampaikan ini. Untuk itu saya sertakan basis argumentasinya.

Pertama, ada potensi konflik norma dalam pembentukan BOFE. Ini berkaitan dengan UU No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (UU Pertanian). UU Pertanian memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk—bersama-sama dengan pemerintah pusat dan masyarakat, menyusun rencana budidaya pertanian. Adapun BOFE pula akan memiliki kewenangan serupa. Akibatnya, tentu saja: tumpang tindih kewenangan. Apa yang bakal terjadi manakala arah kebijakan pemerintah daerah tak sejalan dengan visi BOFE? Inilah konflik norma yang saya maksud.

Kewenangan BOFE didasarkan pada perpres, sedangkan pemerintah daerah punya kewenangan berdasar undang-undang. Maka berlakulah asas lex superior derogate legi inferiori. Peraturan dengan derajat lebih tinggi mengesampingkan peraturan dengan derajat lebih rendah. Sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Pembentukan PUU), undang-undang lebih tinggi derajatnya dari peraturan presiden. Maka norma undang-undanglah yang berlaku efektif manakala terjadi pertentangan dengan norma yang ada dalam peraturan presiden. Ranperpres BOFE nampaknya abai pada asas kesesuaian jenis, hierarki, dan materi muatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Kedua, pembentukan BOFE tidak selaras dengan semangat berinvestasi. Kalau kita telaah kembali, kebijakan pembangunan era Presiden Jokowi mengusung semangat perampingan lembaga serta penyederhanaan regulasi. Dua hal yang digadang-gadang sebagai solusi atas mandegnya laju investasi. Nah, pembentukan BOFE justru berkebalikan dengan semangat ini.

Kelembagaan dan kewenangan untuk perumusan kebijakan pertanian sudah ada di pemerintah daerah. Kenapa harus membentuk lembaga baru? Implementasi di pemerintah daerah memang bukan tanpa masalah. Tapi justru di sinilah tugas pemerintah untuk melakukan optimasi. Bukankah itu tujuannya kita punya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi? Membentuk lembaga baru sama saja artinya pemerintah melakukan pembiaran pada ketidakoptimalan pemerintah daerah.

Pembentukan BOFE memang boleh saja mendapat pembenaran dari UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan), yang mengamanatkan pembentukan lembaga pemerintah untuk menangani urusan pangan. Dalam wacana yang berkembang, lembaga ini kerap disebut dengan istilah badan otorita pangan nasional. Bisa jadi, BOFE dianggap sebagai pewujudan dari amanat UU Pangan ini.

Namun, tentu saja Pasal 126 UU Pangan yang memuat amanat itu belum dipaku mati, sehingga terbuka untuk penafsiran. Tidak ada amanat untuk membentuknya di tingkat daerah. Sebaliknya, mengacu pada wacana yang berkembang, lembaga untuk urusan pangan tersebut akan dibentuk satu saja, di tingkat nasional. Itulah kenapa istilah yang muncul adalah badan otorita pangan nasional. Lalu, apa urgensi untuk membentuk badan otorita pangan secara khusus di daerah tertentu?

Jika pertanyaan perihal desain kelembagaan dan kewenangan ini tak bisa dijawab oleh pemerintah, maka tak berlebihan kiranya menganggap pembentukan BOFE tak lebih dari sekadar bagi-bagi kue kekuasaan.

Ketiga, momentum. Masa pemerintahan Jokowi segera berakhir. Pelantikan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih direncakan pada Oktober 2024. Praktis, kepemimpinan Presiden Jokowi tinggal 4-5 bulan lagi. Merujuk pada Ranperpres BOFE, rencana pengelolaan jangka panjang kawasan food estate akan disusun untuk 20 tahun. Dibutuhkan kerja-kerja kelembagaan yang solid untuk menyusun dan menjalankan rencana jangka panjang semacam itu. Dan solidaritas tersebut belum tentu ada dalam konstelasi politik pasca pemilu 2024.

Belum lagi pemilihan kepala daerah yang baru akan dilaksanakan pada November mendatang. Publik tentu khawatir ketika di bulan-bulan terakhir jelang transisi pemerintahan, ada gelagat untuk mengebut suatu regulasi. Politik transaksional antara elit rentan terjadi di saat-saat seperti itu. Sementara partisipasi bermakna publik akan tersendat karena para elit sibuk bertarung merebut suara. Rencana pembentukan BOFE pada momentum yang ganjil ini, lagi-lagi, cukup jadi alasan bagi publik untuk curiga.

Sebuah keniscayaan

Mempertanyakan rencana pembentukan BOFE Sumatera Utara menjadi sebuah keniscayaan. Sebab segudang pertanyaan atas food estate itu sendiri pun juga belum dijawab. Mulai dari persoalan seputar keberpihakan pada petani, pengingkaran pada otonomi daerah, perampasan ruang hidup masyarakat adat, hingga ancaman kerusakan lingkungan.

Sisa waktu rezim Presiden Jokowi patutlah digunakan untuk evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan program food estate di Sumatera Utara. Bukan malah tergesa-gesa membentuk BOFE, yang keberadaannya pun masih perlu kajian lebih dalam. Masyarakat perlu didengar, kecuali pemerintah memang tebal kuping.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *