Puisi Sigi dan Christiaan
Pulang
Puisi oleh Sigi
senin pendek sekali.
tak ada cahaya, penyebab hilang panjangnya—
cukup panjang dibanding Jl. Surabaya yang memelas—
yang aku diseret-seret asa; memaksa kaki untuk berjalan; dada kempis
tersengal; kepala nyaris terpenggal; memelihara lara yang makin banal.
kisah ini pula sisa sejengkal
yang mana kelana memalingkan juru menuju utara
menjaring hampa dari garis tangan yang tergaris gerusan angan,
nyala pun kusimpan.
senin sudah malam
Jl. Surabaya memakan korban
yang terbenam oleh kesenjaan senja yang temaram.
pada Medan rinduku tergenang,
pada Marelan nyalaku dikenang,
pada ibu jiwaku berhutang,
pula padamu, tempatku berpulang.
9 November 2024
Menteng, Jl. Surabaya

Adakah Panduan tentang Bagaimana
Kita Mesti Memperlakukan Kenangan
Puisi oleh Christiaan
Hatiku tertaut kepada hujan dan tanah yang merindunya. Kepada angin
yang menderu mengantar lelah menemui lelap. Kepada langit
yang tak pernah terburu-buru dan awan yang selimuti
luka-lukanya, serta gemintang yang menghiburnya
setiap waktu: tampak dan tak tampak.
Hatiku tertaut kepada seorang perempuan yang membasuh lumpur
dari baju kerja suaminya. Kepada anak-anak anjing gemuk yang
mendengking menjelang malam. Kepada kayu bakar basah
yang mendamba sinar matahari. Kepada anak-anak ayam
yang berteduh di reranting pohon alpukat di belakang rumah.
Ya, rumah. Hatiku tertaut kepada rumah. Kepada perjalanan
yang tak pernah aku tempuh, dan kau yang tak lagi di sana
menunggu kepulanganku.

Tentang Penyair
Sigi adalah seorang barista. Menulis puisi mencegahnya dari bunuh diri.
Christiaan menulis puisi, cerpen, esai, dan ragam bentuk tulisan lainnya.