Feature oleh Christiaan

Andy Boy Sianipar adalah seorang seniman lukis beraliran surealisme. “Seperti Salvador Dali.” ujarnya, menjelaskan lukisan-lukisannya. Tapi nama pelukis Spanyol itu pun ia ketahui belakangan. Dia tak begitu mengulik pelukis manapun. Tidak fanatik. Sekadar menggali karya, lalu menjadikannya referensi. Katanya, agar tak terpengaruh terlalu dalam, dan berujung pada pengungkapan-ulang kreativitas para seniman terdahulu. Ia hendak menyingkapkan dirinya seutuh-utuhnya dan sepenuh-penuhnya di atas kanvas.
“Saya belum menganggap diri seniman.” kata Andy, menyusul pertanyaan saya apakah dia sudah pernah mengadakan pameran tunggal. Kalau mimpi untuk mengadakan pameran tunggal itu telah terwujud, barulah dia punya cukup kepercayaan diri mendaku seniman.
Cara pandang semacam itu lumrah. Apalagi buat seniman yang memang bukan jebolan sekolah seni seperti Andy. Setelah menamatkan sekolah menengah atas pada tahun 2018, Andy tidak melanjut ke perguruan tinggi. Lalu dari mana datangnya keterampilan melukis itu? Saya coba menelisik. Bakat alami, itulah jawabnya. Orangtua dan saudara-saudaranya tidak ada yang seniman. Kepekaanlah yang menuntun dan menuntutnya menciptakan karya. Awalnya sketsa. Kini, satu ruangan di rumahnya penuh dengan lukisan-lukisan surealis.
Di ruangan itu, Andy membeberkan tempat-tempat yang pernah dikunjunginya. Lukisan-lukisannya lahir sebagai visualisasi dari perjalanan yang ia tempuh, secara fisik sekaligus spiritual. Lukisan termutakhir yang ia kerjakan, misalnya, menyiratkan rasa takjubnya pada keindahan bentang alam, terutama dalam kaitannya dengan mitologi batak. Dapat dilihat dari gambar Gunung Pusuk Buhit dan Gunung Simanuk-manuk pada lukisan itu. Gunung-gunung itu sangat disakralkan oleh orang batak, sebagai titik-titik keterhubungan orang batak dengan sejarah para leluhur. Lukisan yang pengerjaannya memakan waktu 3 tahun ini juga menjadi ungkapan syukur atas anugerah alam. Sekaligus menyingkap amarah terhadap keserakahan manusia yang merusaknya.

Kepekaanlah yang menuntun dan menuntutnya menciptakan karya. Awalnya sketsa. Kini, satu ruangan di rumahnya penuh dengan lukisan-lukisan surealis.
Saya mendengar nama Andy pada tahun 2022. Seorang pemuda pegiat literasi yang membangun perpustakaan di Desa Sianipar Sihail-hail, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Di desa ini Andy lahir dan dibesarkan sebagai anak bungsu dari 6 bersaudara. Library Sihail-hail, demikian Andy memberi nama perpustakaannya.
Di tengah narasi yang kerap menyebut budaya baca masyarakat Indonesia tak mumpuni, tentu saja, inisiatif untuk membangun perpustakaan selalu menarik perhatian. Setelah beberapa kali kandas, akhirnya niat saya untuk berkunjung terealisasi pada pertengahan tahun 2024. Surtama Simanjuntak, seorang teman dari masa SMP menghubungkan saya dengan Andy. Kami membuat janji temu di perpustakaannya pukul 4 sore pada suatu Rabu di pertengahan Juni.
Pukul setengah 3, saya sudah berada di Balige. Menepi ke Coveba Coffee, sebuah kedai kopi di seberang Pelabuhan Mulia Raja Napitupulu. Bertemu dan berbincang dengan Jeremi Napitupulu, seorang teman dari masa SMA. Sama seperti saya, Jeremi juga penasaran dengan perpustakaan itu. Lorencus Siagian menimbrung. Dia adalah pemilik sekaligus barista di Coveba. Pula berkawan baik dengan Andy, dan hapal jalan menuju perpustakaan. Kami putuskan berangkat bersama-sama menuju Perpustakaan Sihail-hail.
Kendati cukup terpencil dari pusat Kota Balige, akses menuju Sianipar Sihail-hail dapat dikatakan baik. Jalan aspal mulus mengular hingga persimpangan desa. Bersambung jalan berkerikil yang tak begitu menyusahkan kendaraan yang melewatinya.
Suasana begitu tenang dan asri. Kontras dengan kesibukan di pusat kota. Beberapa jabu sopo masih berdiri kokoh berhadap-hadapan, sebagaimana orangtua zaman dulu membangunnya. Jabu sopo adalah rumah adat batak toba, di samping jabu ruma atau sering disebut ruma bolon. Konon orang batak menempati ruma bolon sebagai tempat tinggal. Sementara jabu sopo dimanfaatkan sebagai tempat bersosialisasi dengan kerabat, juga sebagai tempat menyimpan barang. Salah satu jabu sopo itulah—peninggalan leluhurnya, yang disulap Andy menjadi perpustakaan.
Andy langsung menyapa dan menjabat kami satu per satu setibanya di sana. Dia baru saja pulang mengajar. Seorang dosen menitipkan anaknya belajar melukis secara privat pada Andy. Kami mengikuti Andy melangkah ke belakang perpustakaan. Sebuah ruang terbuka dengan satu meja dan dua bangku panjang. Di meja, terinstal mesin pemotong kayu. Gerinda dan perkakas pertukangan kayu lainnya tergeletak di atas meja. Selain membubuhkan cat di atas kanvas, Andy juga berkarya dengan medium kayu, seperti seni cukil (woodcut), pirografi, hingga kreasi gantungan kunci. Saat kami tiba, dia baru saja memberi sentuhan akhir pada sebuah sangkar burung. Pesanan seseorang dari Dolok Sanggul.
Suasana begitu cair. Kami seperti empat orang karib yang bertemu lagi setelah sekian lama. Kami duduk mengitari meja yang dibiarkan sebagaimana adanya, membakar kretek, dan langsung menumpahkan apa-apa yang terlintas di kepala ke dalam perbincangan yang hangat. Selang sekira 30 menit, 1 teko kopi hitam pekat dan 4 gelas enamel mendarat di atas meja. “Jam segini, udah cocoklah ngopi.” ujar Andy.
Sambil sesekali menyesap kopi, Andy bercerita banyak tentang nilai-nilai kebatakan (habatahon). Dia berkisah tentang penjelajahan yang dia lakukan sepeninggal ibunya tahun 2019. Dengan motif eskapis, Andy menyusur perkampungan-perkampungan yang ada di Toba. Tempat-tempat yang baru kali pertama didatanginya. Siapa sangka, di sepanjang perjalanan itulah dia menemukan, dan merasakan kedalaman nilai-nilai habatahon. Melalui pengamatan serta percakapan dengan para tetua yang dijumpainya.
“Semua punya filosofi. Mulai dari pengolahan lahan, sampai arsitektur.” kata Andy. Maksudnya adalah cara hidup orang batak. Saat membuka lahan baru untuk diolah, misalnya, orang batak harus permisi kepada alam sekitar.
“Bahkan kepada cacing dan ilalang.” ujarnya bersemangat. Segala sesuatunya terhubung satu sama lain. Semuanya ciptaan Tuhan. Harus saling menghidupi. Hidup yang satu bukan malah mematikan hidup yang lain.
Begitu pula saat akan membangun rumah. Tukangnya harus dijemput (mangalap tukkang), juga harus dikembalikan (paulak tukkang) berdasarkan adat. Itu sebagai bukti betapa orang batak sangat menghargai setiap sendi-sendi kehidupan. Segala sesuatu adalah perayaan. “Ibaratnya, satu tiang rumah pun harus dipestakan.” seru Andy.


“Bahkan kepada cacing dan ilalang.” ujarnya bersemangat. Segala sesuatunya terhubung satu sama lain. Semuanya ciptaan Tuhan. Harus saling menghidupi. Hidup yang satu bukan malah mematikan hidup yang lain.
Bagi saya, Andy memang seorang pencerita ulung. Selesai bercerita penuh minat tentang titik balik kecintaannya pada kebudayaan batak, dia mengubah tempo. Cara bertuturnya melembut, suaranya ia pelankan. Masih perihal perjalanan yang ia sebut sebelumnya, Andy lanjut berkisah seputar proses kreatifnya dalam melukis. Keputusan untuk melakukan perjalanan itu ia ambil pasca sang ibu meninggal. Andy merasa hilang arah. Iman kristennya terguncang. Ia lalu bepergian untuk membunuh gelisah. Menemukan jawaban atas pertanyaan yang mengusik batin. Sepulang dari mengembara, lukisan demi lukisan lahir sebagai hasil dari pengamatan dan perenungannya. Kebermaknaan yang ia petik sepanjang perjalanan itulah inspirasi utamanya. Selebihnya, ia munculkan dengan banyak membaca, dan menulis. Pena dan buku catatan selalu sedia di sebelahnya saat dia tidur. Manakala ada ide tebersit, Andy langsung mencatatnya saat itu juga.
“Cerita saya mungkin tidak sesuai dengan harapan kalian datang ke sini, ya?” tiba-tiba Andy bertanya. Saya tersentak. Sebelumnya, saya memang sudah memberitahu bahwa salah satu tujuan kunjungan saya—selain menjalin persahabatan, adalah melakukan riset untuk sebuah tulisan. Dalam rangka itu, saya pula telah menyusun daftar pertanyaan teknis nan remeh: Sejak kapan Perpustakaan Sihail-hail berdiri? Dari mana koleksi bukunya? Bagaimana gagasan awalnya?
Andy seolah tahu bahwa saya akan melempar pertanyaan-pertanyaan itu, namun belum juga menanyakannya. Sementara dia asyik membagikan cerita seputar lukisan, budaya batak, lingkungan, dan hal-hal yang secara kasat mata tak tampak berkait langsung dengan perpustakaan. Tapi saya tentu paham maksud Andy, dan tak memburunya dengan pertanyaan kejar tenggat itu. Saya biarkan obrolan mengalir. Toh, pertanyaan remeh itu terjawab dengan sendirinya karena kami saling menanggapi dengan baik.
Gagasan membangun perpustakaan muncul pada tahun 2020. Tahun di mana pandemi covid-19 mulai memorakporandakan tatanan hidup masyarakat. Anak sekolah dirumahkan. Mau tak mau, kebiasaan keseharian berubah. Mereka jadi lebih sering menggenggam ponsel. Interaksi antar sesama berkurang. Andy menangkap situasi ganjil ini, dan yakin itu tak baik buat anak-anak. Dia lalu menata buku-bukunya di jabu sopo peninggalan leluhurnya. Bangunan itu diwariskan dari generasi terdahulu ke generasi kemudian. Usianya mencapai 200 tahun.
Koleksi perpustakaan diawali dengan buku-buku milik pribadi Andy. Setelahnya, dia membuka donasi. Posternya disebar di media sosial. Lalu buku-buku mulai memadati perpustakaan. Sumbangan dari teman maupun dari mereka yang tergerak ketika mendengar kabar tentang Perpustakaan Sihail-hail.
Anak-anak di Sianipar Sihail-hail pun mulai berdatangan. Tenggelam dalam kesenangan membaca. Ada yang tak sungguh-sungguh membaca. Hanya senang berkumpul dan bermain dalam suasana riang gembira. Tak apa, itu juga tak kalah penting. Andy paham betul, literasi bukan hanya tentang membaca buku.
“Apa yang kita lakukan sekarang pun literasi.” kata Andy kepada kami.
“Berbincang, tertawa, bertukar pikiran.” tandasnya.
Ini pula yang membuat Andy sering jengkel. Ada saja orang yang memandang literasi sekadar baca buku dan intensitas kunjungan ke perpustakaan. Tiap kali ada yang menanyakan hal semacam itu, dia menjawab bahwa dia tak menghitung-hitung berapa orang anak, serta berapa kali dalam sehari mereka datang ke perpustakaan. Menurutnya, statistik semacam itu tidak menjelaskan apa-apa.
Kenyataannya jauh lebih kompleks. Anak-anak tak selalu punya waktu menyinggahi perpustakaan. Mereka turut melakoni kerja-kerja domestik, seperti mencuci piring dan pakaian, membersihkan dan menata rumah, memasak, dan seterusnya. Beberapa bahkan ikut membantu orangtua bekerja di ladang dan sawah. Jadi konteksnya jelas. Mereka bukan anak-anak pejabat yang waktunya telah dialokasikan sedemikian rupa: pulang sekolah les biola, selepas makan malam les bahasa asing.
Andy lebih memilih menaruh perhatian pada fakta sosiologis ini ketimbang menghitung jumlah pengunjung dan sirkulasi peminjaman buku. Pasalnya, dia sudah merasakan langsung bagaimana upayanya membentur kenyataan. Andy bercerita. Suatu waktu seorang anak membersihkan perpustakaan. Pulang ke rumah, anak itu malah dimarahi orangtuanya. Dianggap lebih mementingkan perpustakaan daripada rumahnya sendiri. Andy miris mengetahuinya. Anak itu benar-benar digerakkan oleh semangat kolektif, rasa memiliki atas ruang bersama yang dibangun oleh Andy. Bukan karena disuruh-suruh.
Lebih menyakitkan adalah ketika Andy dicap telah memanfaatkan anak-anak itu. Hal ini sempat membuatnya frustasi. Ia menutup perpustakaan selama seminggu penuh. Bahkan terlintas di pikirannya untuk tak membuka perpustakaan itu lagi. Andy tertekan. Merasa jadi sumber masalah. Namun pikiran itu lekas ia tepis. Menyaksikan kobaran semangat anak-anak untuk belajar, ia kembali membuka perpustakaan.
Saya kemudian lanjut bertanya perihal pembiayaan operasional perpustakaan. Andy memaparkan, segala keperluan untuk perpustakaan bisa ditalangi dengan subsidi silang. Artinya, pendapatannya dari lukisan maupun seni perkayuan ia sisihkan untuk perpustakaan. Ia sungkan berharap pada pihak manapun di luar sana. Kalau ada yang sungguh-sungguh terpanggil untuk bergerak bersama, ya syukur. Kalau tidak ada, ya tetap jalan terus dengan sumber daya yang tersedia. Begitulah prinsipnya.

Anak-anak tak selalu punya waktu menyinggahi perpustakaan. Mereka turut melakoni kerja-kerja domestik, seperti mencuci piring dan pakaian, membersihkan dan menata rumah, memasak, dan seterusnya.
Malam sudah mulai turun. Kopi di masing-masing gelas tinggal ampas. Pertanyaan sarkastik yang tadi dilontarkan Andy masih menyisakan rasa penasaran. Entah kenapa, saya menangkapnya sebagai keengganan Andy untuk diliput. Saat saya menyinggung soal tulisan yang hendak saya kerjakan, dia mengakuinya.
“Saya merasa bukan siapa-siapa. Hal besar apa yang saya kerjakan sehingga orang perlu menuliskan profil saya.” ujar Andy. Boleh saja Andy berpendapat demikian. Namun, sah-sah juga pandangan orang lain yang menemukan keunikan dalam sosok Andy, sehingga merasa perlu untuk menuliskannya. Walau memang tak bisa dimungkiri, banyak tulisan itu yang asal jadi. Sudut pandangnya itu-itu saja: seorang anak muda mengambil keputusan ajaib, membangun perpustakaan di desa kecil.
Sudut pandang semacam itu seringkali problematis. Karena melulu mengkontraskan keputusan untuk menetap dan berkarya di kampung, dengan keputusan untuk merantau mengejar kemapanan. Padahal, Andy tidak merasa mengorbankan apa-apa dengan memilih tinggal di kampung halamannya. Dia menganggap, memang sudah seharusnya seperti itu. Saya sepakat. Kalau semua anak muda pergi merantau, siapa yang akan merawat kampung halaman?
Andy lanjut menjelaskan, ia skeptis pada penulisan-penulisan profil itu karena menurutnya, hari-hari ini banyak orang sibuk mencari validasi. Apalagi anak muda. Baru mengerjakan sedikit, maunya sudah diulas di rubrik sosok surat kabar. Tragisnya, inisiatif malah berhenti di tengah jalan. Andy menghindari perilaku narsistik semacam itu. Ia tidak mau perpustakaannya berhenti di kolom ulasan media. Dia ingin terus tumbuh. Itulah kenapa, ia juga rutin menggelar pentas kesenian di depan perpustakaan. Sebagai momentum buat anak-anak mengekspresikan diri, sekaligus untuk menarik minat pengunjung. Terbukti, bukan cuma masyarakat sekitar, wisatawan mancanegara juga sudah berkunjung ke Perpustakaan Sihail-hail.
Saya semakin memantik perbincangan dengan menyebut nama sebuah festival literasi di Balige. Festival itu sudah dihelat 2 kali, yakni pada tahun 2022 dan 2023. Andy mengulum senyum. Rupanya dia punya pandangan tersendiri tentang ini. Pada dasarnya, festival itu memang baik. Tapi lebih baik lagi jika ekosistem literasinya sudah terbentuk dan stabil. Saya membenarkan. Kali kedua festival itu diadakan pada 2023 lalu, saya hadir. Penyair cum kritikus sastra, Saut Situmorang didatangkan dari Yogyakarta. Beberapa penulis senior juga ikut menyemarakkan. Sebut saja Kurnia Effendi, Hanna Rambe, Magdalena Sitorus, Raudal Tanjung Banua, dan Idris Pasaribu. Anehnya, saya malah tak mendengar nama Perpustakaan Sihail-hail di sana. Tidak pula menjumpai prakarsa serupa.
“Tapi setelah ini, kita harus melakukan penebusan dosa.” celetuk Andy. Maksudnya adalah berkarya setelah menggibahi orang lain. Sehingga kritik tidak harus berhenti sebagai pergunjingan. Sebaliknya, menjadi lecut untuk menghasilkan sesuatu. Dengan berkarya setelah menilai orang lain, Andy merasa terbebas dari jebakan lingkaran setan tukang gosip. Barangkali ini juga salah satu cara dia mengamalkan nilai kebatakan. Dengan bersikap demikian, dia memang bakal jauh dari yang namanya holan hata, ungkapan cemooh dalam bahasa batak yang artinya cuma bisa bicara tapi tak mampu berkarya.
Apalagi anak muda. Baru mengerjakan sedikit, maunya sudah diulas di rubrik sosok surat kabar. Tragisnya, inisiatif malah berhenti di tengah jalan.
Tidak kurang dari 3 jam kami habiskan berbincang-bincang. Kami lalu masuk ke perpustakaan. Saya menyusur rak buku. Buku-buku ajar sekolah tampak mendominasi. Diselingi novel, buku pengembangan karakter, dan buku-buku lainnya. Saya ingat, tadi Andy sempat mengatakan bahwa anak-anak juga sering datang ke perpustakaan guna mengerjakan tugas sekolah. Keberadaan buku-buku itu ternyata sangat membantu mereka.
Bangunan perpustakaan adalah jabu sopo dengan dua ruangan bertingkat. Buku-buku berada di ruangan bawah. Beberapa karya sketsa dan lukisan Andy juga dipajang di sini. Sementara satu ruangan lagi yang berada di tingkat dua tampak kosong melompong. Andy memanfaatkannya sebagai tempat diskusi lesehan. Tidak ada kursi. Hanya tikar usang tergelar. Andy melapisnya lagi dengan tikar lain setiap kali ruangan itu akan digunakan.
Merawat rumah kayu berumur ratusan tahun jadi tantangan tersendiri buat Andy. Serpihan halus dari kayu yang termakan usia acap berjatuhan. Belum lagi tai cicak yang rutin mengotori lantai. Andy berharap kelak bisa punya vacuum cleaner, agar bersih-bersih perpustakaan jadi lebih ringkas dan menyenangkan.
Sebelum keluar dari perpustakaan, Andy masih sempat menjelaskan beberapa karyanya yang terpajang. Ada sketsa sahan atau naga morsarang, semacam patung kecil yang terbuat dari tanduk kerbau. Digunakan oleh leluhur orang batak sebagai wadah menyimpan obat-obatan. Ada juga sketsa yang dibuat dengan teknik scribble. Gambar seseorang sedang duduk membaca buku.
Bagi Andy, berkarya bukan sekadar menghasilkan sesuatu. Lebih dari itu, berkarya adalah perjalanan menemukan diri. Mencapai lapisan-lapisan terdalam diri. Berkarya juga sebagai medium untuk merasakan kemanunggalan dirinya dengan Tuhan. Sesuatu yang hanya dia bisa merasakannya. Suatu waktu, ia pernah dapat pesanan lukisan Yesus. Dia menolak.
“Seperti apa wajah Tuhan menurut mereka?” kata Andy. Sejauh penjelajahan dan perenungannya selama ini, paling banter, ia cuma bisa melukis bebungaan yang bermekaran sebagai penggambaran wajah Tuhan.
“Bagi kalian bisa beda lagi.” tandasnya. Benar belaka. Saya jadi ingat sajak Subagio Sastrowardoyo berjudul Afrika Selatan. Tentang Yesus berkulit putih, yang lalu diperkenalkan pada orang-orang kulit hitam oleh orang-orang kulit putih yang menindas mereka. Kulit hitam tak harus menolak Yesus. Tapi iman mereka akan utuh hanya jika mereka telah merebut pemaknaan atas ketuhanan itu sendiri.
Lewat pukul delapan, kami pamit. Andy menawarkan untuk tinggal lebih lama. Menghabiskan sisa malam dengan makan mi instan dan menenggak tuak. Kami memutuskan mengagendakannya di lain waktu. Sebelum berpisah, kami saling mengingatkan soal penebusan dosa. Tantangan untuk berkarya di hari mendatang.
Laguboti, Juni 2024.