Oleh: Christiaan
Publik (pelaku sastra) mengenal yang namanya musikalisasi puisi. Ia secara sederhana dimaknai sebagai teks puisi yang dinyanyikan, ataupun dibacakan dengan iringan musik. Tapi nyanyian yang bagaimana? Musik yang bagaimana? Apakah lirik sebuah lagu adalah puisi dengan sendirinya? Apakah semua teks puisi bisa dinyanyikan? Dan, kenapa pula istilah ‘musikalisasi puisi’ pakai kata kerja ‘musikalisasi’, alih-alih kata benda semisal musikal?
Saya sejak lama telah menerima pengertian musikalisasi puisi sebagaimana saya sebutkan sebelumnya. Dan belum pernah memusingkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Setidaknya sampai di suatu pagi menjelang siang pada bulan penghabisan tahun dua puluh dua empat. Sabtu, 21 Desember 2024, tanpa undangan siapa-siapa, saya datang ke pagelaran musikalisasi puisi bertajuk Ngumpul Ngompi (Ngumpul Ngobrol Musikalisasi Puisi) di Gedung Pagelaran Fakultas Ilmu Budaya USU. Pertunjukan yang diinisiasi oleh EMPU (Etnomusikologi Musikalisasi Puisi). Acaranya meliputi pertunjukan musikalisasi puisi dari grup EMPU, talk show, dan parade puisi.
Sesi talk show Ngumpul Ngompi diisi langsung oleh sang pengasuh grup EMPU, Arief Tarigan. Dipandu oleh Eka Dalanta yang seorang penggiat literasi. Atas pertanyaan-pertanyaan dari Eka Dalanta, Arief Tarigan lantas membeberkan hal-hal menarik ihwal musikalisasi puisi. Mulai dari kenapa istilah yang digunakan berupa kata kerja ‘musikalisasi’ alih-alih kata benda ‘musikal’, hingga jenis-jenis musikalisasi puisi. Yang pertama memang tak dijawabnya secara tegas, alih-alih melemparkannya sebagai wacana kepada audiens. Sedang yang kedua adalah hasil dari penelitian skripsinya pada tahun 2009.
“Bukankah teks puisi itu dengan sendirinya sudah musikal? Kenapa harus dimusikalisasi lagi?” ujar Arief Tarigan dalam paparannya. Jawabnya bermekaran di kepala masing-masing orang yang ditodong oleh pertanyaan itu. Saya pun demikian. Tebersit di kepala saya bahwa kata kerja ‘musikalisasi’ pada istilah musikalisasi puisi memang menandakan adanya proses yang tak berkesudahan. Proses menafsir teks puisi lalu menyampaikan hasil tafsir itu melalui bunyi. Bunyi, bisa dari apa saja. Hentakan kaki, tepukan tangan, iringan instrumen. Dan, tentu saja, teks puisi yang dibacakan lantang di atas panggung pun telah menjadi bunyi.
Proses membunyikan puisi itu berlangsung terus-menerus. Tidak hanya saat si penampil membaca teks puisi di kamarnya sendirian lalu meramu komposisi musik yang bakal mengiring pembacaan puisi itu. Tapi juga berlangsung saat si penampil hendak naik ke atas panggung, mengatur napas, lalu menyanyikan puisinya. Inilah poin dari musikalisasi puisi sebagai seni pertunjukan. Ia dipertontonkan tak sekadar sebagai “barang jadi” hasil latihan berbulan-bulan. Maka keberhasilan si penampil bakal tampak pada bagaimana ia/mereka menikmati proses penafsiran teks puisi di atas panggung.
“Tidak perlu pretensius untuk mengesankan penonton. Pertama-tama, kitalah yang harus bisa menikmati pertunjukan kita. Kalau kita bisa menikmati apa yang kita tampilkan, orang yang menontonnya pun akan bisa menikmatinya.” demikian disampaikan Arief Tarigan, menyusul tanya seorang audiens perihal kiat-kiat tertentu yang barangkali bisa ditempuh seorang penampil untuk memikat penonton.
Kendati memiliki privilese sebagai bentuk seni pertunjukan yang ruang interpretasinya amat luas, musikalisasi puisi juga menjadi subjek kajian akademis yang menarik. Arief Tarigan mengkaji musikalisasi puisi untuk skripsinya di Prodi Etnomusikologi USU. Ia membagi pertunjukan musikalisasi puisi menjadi beberapa jenis, seperti: musikalisasi puisi berupa pembacaan teks puisi dengan iringan musik, musikalisasi puisi berupa teks puisi yang dinyanyikan, dan kombinasi keduanya.
Kehadiran EMPU yang fokus pada pertunjukan musikalisasi puisi adalah angin segar buat ekosistem seni di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara. Bagi Arief Tarigan, musikalisasi puisi punya tempat tersendiri di hatinya. Di antara bentuk-bentuk karya seni lainnya, baginya, musik dan puisi berada di posisi teratas sebagai karya seni yang mujarab untuk melembutkan hati. Kombinasi keduanya adalah keajaiban.
